Selasa, 05 April 2011

ASKEP RETINOBLASTOMA

TINJAUAN TEORITIS

   A.    Pengertian Retinoblastoma
         Retinoblastoma adalah suatu tumor ganas yang mengenai retina pada suatu atau kedua mata( Suriadi dan Rita Yuliani ).
Retinoblastoma merupakan tumor ganas intraokular yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun. Tumor berasal dari jaringan retino embrional (Mansjoer, 2005).
Retinoblastoma adalah  Tumor ganas dalam bola mata  pada anak dan bayi sampai 5 tahun ( Sidarta Ilyas, 2002 ).
Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina pad anak.
Jadi dari beberapa pengertian diatas disimpulakan bahwa retinoblastoma adalah penyakit kanker mata (retina) pada anak usia kurang dari 5 tahun.

B.                 B. Etiologi
Retinoblastoma  terjadi  karena  kehilangan  kedua  kromosom  dari  satu  alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom 13g14. Bisa karena mutasi atau diturunkan.
Mutasi terjadi akibat perubahan pada rangkaian basa DNA. Peristiwa ini dapat timbul karena kesalahan replikasi, gerakan, atau perbaikan sel. Mutasi dalam sebuah sel benih akan ditransmisikan kepada turunan sel tersebut. Sejumlah faktor, termasuk virus, zat kimia, sinar ultraviolet, dan radiasi pengion, akan meningkatkan laju mutasi. Mutasi kerapkali mengenai sel somatic dan kemudian diteruskan kepada generasi sel berikutnya dalam suatu generasi.
      C.    Patofisiologi
Retinoblastoma merupakan tumor ganas utama intraokuler yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Tumor berasal dari jaringan retina embrional, dapat terjadi unilateral (70 %) dan bilateral (30 %). Sebagian besar kasus bilateral bersifat herediten yang diwariskan melalui kromosom.
Massa  tumor  dapat  tumbuh  ke  dalam  vitreous  (endofilik)  dan  tumbuh menembus keluar lapisan retina atau ke ruang sub retina (endofilik). Kadang-kadang tumor berkembang difus.
Pertumbuhan  endofilik  lebih  umum  terjadi.  Tumor  endofilik  timbul  dari lapisan inti dalam lapisan serabut saraf dan lapisan ganglion retina. Tipe eksofilik timbul dari lapisan inti luar dan dapat terlihat seperti ablasio retina yang solid.
Perluasan  retina  okuler  ke  dalam  tumor  vitreous  dapat  terjadi  pada  tipe endofilik dan dapat timbul sebaran metastase lewat spatium subretina atau melalui tumor vitreous. Selain itu tumor dapat meluas lewat infiltrasi pada lamina cribrosa langsung ke nervus optikus dengan perluasan ke lapisan koroid dapat ditemukan infiltrasi vena-vena pada daerah tersebut disertai metastasis hematogen ke tulang dan sumsung tulang.
Tumor mata ini, terbagi atas IV stadium, masing-masing: Stadium I: menunjukkan tumor masih terbatas pada retina (stadium tenang),  Stadium II: tumor terbatas pada bola mata. , Stadium III: terdapat perluasan ekstra okuler regional, baik yang melampaui ujung nervus optikus yang dipotong saat enuklasi. , Stadium IV: ditemukan metastase jauh ke dalam otak.
Pada  beberapa  kasus  terjadi  penyembuhan  secara  spontan,  sering  terjadi perubahan degeneratif, diikuti nekrosis dan klasifikasi. Pasien yang selamat memiliki kemungkinan 50 % menurunkan anak dengan retinoblastoma.


Patoflow
Virus, zat kimia, ultraviolet & radiasi

Perubaha pda rangkaian DNA

Mutasi kromosom Bg14

  Mata Juling, mata merah                     Retinoblastoma                       Leukokoria




Endofilik  
                                                                                Eksofilik

    Meluas ke retina okuler                Penurunan tajam
                                                                 Penglihatan

   Timbul Sebaran metastase
   melalui spatium sub retina

    Meluas lewat infiltrasi
        (Lamina Crirosa)

      Metastase hematogen                                                         
      ke tulang dan sumsum                                            Ablasio Retina


Mansjoer, A. Et. Al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi III. Catatan IV. Abkulapius FK-VI. Jakarta 


                                                                                        
D.    Manifestasi Klinis
1.   Leukokoria merupakan keluhan dan gejala yang paling sering ditemukan.
2. Tanda dini retinoblastoma adalah mata juling, mata merah atau terdapatnya warna iris   yang tidak normal.
3.  Tumor dengan ukuran sedang akan memberikan gejala hipopion, di dalam bilik mata depan, uveitis, endoftalmitis, ataupun suatu panoftalmitis.
4.  Bola mata menjadi besar, bila tumor sudah menyebar luas di dalam bola mata.
5.  Bila terjadi nekrosis tumor, akan terjadi gejala pandangan berat.
6. Tajam penglihatan sangat menurun.
7.  Nyeri
8.  Pada tumor yang besar, maka mengisi seluruh rongga badan kaca sehingga badan kaca  terlihat benjolan berwarna putih kekuning-kuningan dengan pembuluh darah di atasnya.
E.     Klasifikasi
Retinoblastoma  terbagi atas IV stadium, masing-masing:
1.      Stadium I: menunjukkan tumor masih terbatas pada retina (stadium tenang)
2.      Stadium II: tumor terbatas pada bola mata.
3.      Stadium III: terdapat perluasan ekstra okuler regional, baik yang melampaui ujung nervus optikus yang dipotong saat enuklasi.
4.      Stadium IV: ditemukan metastase jauh ke dalam otak.


F.     Komplikasi
Komplikasi dari penyakit retinoblastoma adalah :
1.      Ablasio Retina
Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih tua.
2.      Glukoma

Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.

3.      Kebutaan

G.    Peatalaksanaan
Semua tujuan terapi adalah merusak tumor dan mempertahankan penglihatan yang  memungkinkan  tanpa  membahayakan  hidup.  Terapi  primer  retinoblastoma unilateral biasanya enuklasi, kendatipun pada kasus-kasus tertentu, alternatif seperti krioterapi, fotokoagulan atau radiasi dapat dipertimbangkan.
1.      Bila  tumor  masih  terbatas  intraokuler,  pengobatan  dini  mempunyai  prognosis yang baik, tergantung dari letak, besar dan tebal.
2.      Pada  tumor  yang  masih  intraokuler  dapat  dilakukan  krioterapi,  fotokoagulasi laser, atau kombinasi sitostatik dan fotokoagulasi laser untuk mempertahankan visus.
3.      Pada  tumor  intraokuler  yang  sudah  mencapai  seluruh  vitreous  dan  visus  nol, dilakukan enuklasi.
4.      Bila  tumor  telah  keluar  bulbus  okuli,  tapi  masih  terbatas  di  rongga  orbita, dilakukan kombinasi eksenterasi, radioterapi, dan kemoterapi.
Pasien  harus  terus  dievaluasi  seumur  hidup  karena  20  –  90  %  pasien retinoblastoma bilateral akan menderita tumor ganas primer, terutama osteosarkoma.

H.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a.      Data Subjektif
        Mengeluh nyeri pada mata
        Sulit melihat dengan jelas
        Mengeluh sakit kepala
        Merasa takut
b.      Data Objektif
        Mata juling
        Bola mata besar
        Aktifitas berkurang
        Tekanan bola mata meningkat
        Gelisah
        Reflek pupil berwarna putih
        Tajam Penglihatan menurun
        Sering menangis
        Keluarga sering bertanya
        Ekspresi meringis
        Tak akurat mengikuti instruksi
        Keluarga tampak murung
        Keluarga tampak gelisah
        Pertanyaan/pernyataan keluarga salah konsepsi

c.      Pemeriksaan Penunjang
1)     Ultra Sonografi dan Tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien dengan metastase keluar misalnya dengan gejala proptosis bola mata.
2)     Elektroretino-gram (ERG), bergun untuk menilai kerusakan luas pada retina.
3)     Elektro-Okulogram (EOG)
4)     Visual Evoked Respons (VER), berguna untuk mengetahui adanya perbedaan rangsangan yang sampai ke korteks sehingga dapat diketahui adanya gangguan rangsangan / penglihatan pada seseorang.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.      Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakitnya.
(kompresi/destruksi jaringan saraf , inflamasi ).
b.      Gangguan persepsi sensorik penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori dari organ penerima
c.      Gangguan rasa aman cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ,adanya nyeri,kemungkinan, kenyataan kelihatan penlihatan.
d.      Resiko tinggi cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
e.   Kurangnya pengetahuan keluarga sehubung dengan kurangnya informasi mengenai penyakit anak.
3.      Perencanan keperawatan
a.      Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakitnya.
Tujuan :
        Menunjukkan / melaporkan kehilangan nyeri maksimal
        Menunjukkan tindakan santai , berpartisipasi dalam aktifitas/tidur/istirahat dengan maksimal
        Menunjukkan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individu
Intervensi :
        Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi nyeri , frekuensi, durasi dan intensitas (skala 0-10 ) dan tindakan penglihatan yang digunakan.
        Evaluasi / sadari terapi tertentu. Misalnya pembedahan , radiasi, kemoterapi, bioterapi, ajarkan pasien / orang terdekat apa yang diharapkan.
        Berikan tindakan kenyamanan dasar (misalnya : reposisi ) dan aktifitas hiburan (misalnya : mudik , televisi )
        Dorong penggunaan keterampilan manajeme nyeri (misalnya : teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imaginasi ) tertawa, musik dan sentuhan terapeutik.
        Evaluasi penglihatan nyeri / kontrol nilai aturan pengobatan bila perlu kolaborasi
        Kembangkan rencana managemen nyeri dengan pasiaen dan dokter
        Berikan analgetik sesuai indikasi (misalnya : morfin, metado )
b.      Gangguan persepsi sensorik penglihatan sehubungan dengan gangguan penerimaan sensori dari organ penerima.
Tujuan :
        Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan
        Mengidentifikasi / memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
Intervensi :
        Tentukan ketajaman penglihatan , catat apakah satu atau dua mata yang teribat
        Orientasikan pasien dengan lingkungan siap orang lain di areanya.
        Letakkan buran yang dibutuhkan / posisipemanggil dalam jangkauan
        Dorong mengekspresikan perasan tentang kehilangan penglihatan
        Lakukan tindakan untuk membantu klien untuk menangani keterbatasan penglihatan , contoh : atur perabotan / mainan perbaiki sinar suram dan masalah penglihatan malam.
c.      Gangguan rasa aman cemas sehubung dengan perubahan status kesehatan  adanya nyeri ,  kemunglinan/ kenyataan kehilangan penglihatan.
Tujuan :
        Tampak rileks dan melaporkan cemas menurun samp[ai tingkat dapat teratasi
        Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
        Menggunakan sumber secara efektif
Intervensi :
        Kaji tingkat ansietas, derajat pengalaman nyeri / timbulnya gejala tiba-tiba pengetahuan kondisi saat ini
        Berikan informasi yang akurat dan jujur
        Dorong klien untuk mengatur masalah dan mengekspresikan perasaan.
d.      Resiko tinggi cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
Tujuan :
        Menunjukkan perubahan perilaku pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi dari cedera.
        Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
        Menyatakan kemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkina cedera.
Intervensi :
        Orientas sikap pasien dalam lingkungan staf dan orang lain yang ada di areanya.
        Anjurkan keluarga memberikan mainan yang aman dan mempertahankan pagar tempat tidur
        Arahkan semua alat mainan yang dibutuhkan klien pada tempat  sentral pandangan klien dan mudah dijangkau.


e.      Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit anaknya.
Tujuan :
        Mengikuti instruksi dengan prosedur yang benar dan menjelaskan alasan tindakan.
        Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan pengobatan
        Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala dengan proses penyakit.
Intervensi :
        Beri penjelasan tentang kondisi klien , prognosis dan pengobatan
        Tekankan pentingnya evaluas perawatan yang rutin
        Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya menghindari atau mengurangi situasi pencetus stres
        Ajarkan cara mengatasi nyeri dengan teknik-teknik relaksasitertawa, musik, sentuhan terapeutik.
4.      Pelaksanaan Keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan langkah keempat melaksanakan berbagai startegi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004).
Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya kemampuan dalam prosedur klien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan yaitu tindakan jenis mandiri dan kolaboratif. Sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dalam tanggung jawab dalam menentukan komponen pada tahap asuhan keperawatan.

Komponen pada tahap implementasi adalah:
a.      Tindakan keperawatan mandiri
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesan dokter. Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Associantion (1973) dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.
b.      Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif di implementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawat kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah klien.

5.      Evaluasi keperawatan

Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan criteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawata pada tahap ini adalah memahami respom terhadap intervensi keperawatan. Kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan-tindakan keperawatan pada kriteria hasil.
Padatahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a.      Evaluasi formasi menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b.      Evaluasi sumatif merupakan rekaptulasi dari hasil obsevasi dan analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Disamping itu, evaluasi juga sebagian alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1.      Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan kemajuan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2.      Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tecapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dcari berbagai maslah atau penyebabnya, sepert klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual, setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3.      Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.

Senin, 04 April 2011

ASKEP DENGUE HAEMORAGIC FEVER

TINJAUAN TEORITIS
A.     Pengertian
DHF/DBD adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong Arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang betina (Effendi, 1995).
Demam Dengue adalah penyakit yang terdapat pada anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah hari kedua hari pertama terinfeksi virus (Mansyur, Arif, 2001).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti (Soeparman, 1996).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong dan masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina.

B.     Etiologi
1.      Penyebab Utama
Virus Dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropada). Virus Dengue berbantuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap inaktifitas oleh dietileter dan natrium, stabil pada suhu 70°C.
2.      Faktor Utama
a.       Aedes aegypti.
b.      Aedes albopictus.
c.       Aedes polinesiensis.
Adanya faktor-faktor tersebut berhubungan dengan:
      


a.    Kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari.
b.      Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
c.       Penyediaan air bersih yang langka.
Daerah yang terjangkit DHF adalah wilayah padat penduduk karena:
a.       Antara rumah jaraknya berdekatan yang memungkinkan penularan karena jarak terbang Aedes aegypti 40-100 m.
b.      Aedes aegypti betina mempunyai kebiasaan mengigit berulang (Multiplebiters) yaitu mengigit beberapa orag secara bergantian dalam waktu singkat (Noer,1999).

C.     Patofisiologi
Virus Dengue akan masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan berbentuklah kompleks virus antibodi, dalam sirkulasi akan mengaktifitasi system komplemen yang menyebabkan terjadinya viremia menyebabkan demam, anoreksia, dan mual, sehingga terjadinya kekurangan volume cairan yang mengakibatkan dehidrasi, manifestasi pendarahan, pada system organ (Hepatomegali). Pembesaran limfa (Spelenomegali). Ruam pada DHF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan atau syok. Pada kasus berat renjatan terjadi secara akut dan nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Ada dugaan renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma kedaerah ekstra seluler melalui kapiler yang rusak sehingga mengakibatkan menurunyan volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit. Bukti besar dugaan ini adalah ditemukanya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, perikadium yang ternyata melebihi cairan infus serta terjadinya bendungan pembuluh darah paru. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari awal demam sampai puncaknya pada masa renjatan.

Manifestasi klinios menurut WHO (1999), didasarkan pada 4 derajat yaitu Derajat I, demam disertai gejala klinis lain, tanpa pendarahan spontan, uji torniqute positif, trombositopenia, atau mudah memar, Derajat II,derajat I dan disertai pendarahan spontanpada kulit atau tempat lain seperti pendarahan gusi, epitaksis, hematemesis dan melena, Derajat III, ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, hipotensi, gelisa, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari (tanda-tanda renjatan) dan Derajat IV terjadi renjatan yaitu dengue syok sindrom (DSS) dengan tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Jika rejatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, asidosis metabolic dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.


D.    Manifestasi KLinis
1.      Suhu meningkat/demam tiba-tiba disertai dengan menggigil 2-7 hari.
2.      Perdarahan pada kulit (petikie), ekimosis, hematoma.
3.       Epistaksis, hematuria, melena.
4.      Sakit waktu menelan/doisphagia.
5.      Mual, muntah, anorexia, diare, konstipasi.
6.       Nyeri kepala,otot, sendi, otot abdomen, ulu hati, pegal-pegal pada seluruh tubuh, otot sekitar mata sakit.
7.      Renjatan yang ditandai dengan nadi lemah disertai tekanan darah menurun, kulit terasa dingin dan lembab terutama pada ujung tangan dan kaki.

E.     Klasifikasi derajat DHF secara klinis
1.      Derajat I
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tak khas dan satu-satunya manifestasi pendrahan atau uji tourniquet positif
2.    Derajat II
Manifestasi derajat I disertai pendarahan spontan dikulit dan pendarahan lain seperti gusi,epistaksis hematemasis,melena dan gamgguan aliran dari perifer.
3.      Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan darah kurang dari 120 mm/hg, hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab penderita menjadi gelisa.
4.      Derajat IV
Ranjatan hebat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tak dapat diukur.

F.      Komplikasi
     Pada pasien DHF, komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1.      Demam tinggi, gangguan kesadaran disertai kejang/tanpa kejang.
2.      Efusi pleura.
3.      Syok lanjutan.
4.      Kematian.

G.    Penatalaksanaan
     Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut:
1.      Tirah baring/istirahat berbaring.
2.      Diet makan lunak.
3.      Minum banyak (2-2,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, dan diberi penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4.      Pemberian cairan intravena (biasanya Rl, Nace Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5.      Monitot TTV tiap 3 jam (suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi  ketat tiap jam.
6.      Periksa HB, HT, dan trombosit setiap hari.
7.      Pemberian obat antipentetik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8.      Monitor tanda-tanda pendarahan, setiap hari.
9.      Pemberian obat antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10.  Monitor tanda-tanda dan gejala renjatan meliputi keadaan umum, perubahan, tandai vital hasil pemeriksaan laboraturium yang memburuk.
11.  Bila timbul kejang dapat diberi Deazepam.
Pada kasus dengan renjatan, paien dirawat intensif dan segera dipasang infuse sebagai penganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma ekspander/dekstan, sebanyak 20-30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12-48 jauh setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan teratasi nadi sudah jelas, amplitude nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mm Hg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10m/kg BB/jam.
Tranfusi diberikan pada pasien dengan pendarahan Qastralitesfinal hebat. Indikasi pemberian tranfusi pada penderita DHF yaitu jika ada pendarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang kanin tegang dengan BH yang mencolok.

Pada DBD tanpa renjatan hanya diberikan minum 11/2-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua, infus dibantu pada pasien tanpa renjatan apabila.
a.       Periksa terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mencegah terjadinya dehidrasi.
b.      Hematokrit yang cenderung meningkat.

H.    Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Data Subjektif
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain:
-         Sakit kepala, nyeri ulu hati.
-         Konstipasi.
-         Nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh.
-         Lemah.
-         Anoreksia (tidak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan.
-         Demam atau panas.
b.      Data Objektif
Data objektif sering dijumpai pada penderita DHF antara lain:
-         Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan (flushing).
-         Mukosa mulut kering, pendarahan gusi, lidah kotor (kadang-kadang).
-         Tampak bintik merah pada kulit (petekei), epitaksisi, ekimosis, hematoma, melena.
-         Hyperemia pada tenggorokan.
-         Nyeri tekan pada epegastruim.
-         Nada saat palpasi terdapat pembesaran hati dan limfa.
-         Nadi cepat dan lemah, hipotensi,gelisah,sianosis parifer dan nafas dangkal.
c.       Pemeriksaan
1.      Pemeriksaan darah untuk mengetahui penurunan trombasit,Hb dan Ht meningkat 20 %,leukosit menurun, dan PH meningkat.
2.      Urine untuk mengetahui apakah ada albuminuria ringan.
3.      Serologi untuk IGC dengue positif
4.      Rontgen thorax untuk mengetahui apakah ada efusi pleura
5.      USG untuk mengetahui hepatomengalidan Splenomegali
d.      Faktor predidposisi
Lingkungan yang tidak sehat ,barang bekas yang tidak dikubur,air menggenang (terutama air bersih ),contoh : bak mandi dan baju bergantungan.
e.       Faktor prespitasi yaitu virus dengue.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
b.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
c.       Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
d.      Gangguan aktifitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang melemah.
e.       Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume caiaran tubuh.
f.        Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
g.       Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan.

3.      Intervensi Keperawatan
a.       Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia)
Tujuan :
1.      Suhu tubuh normal (360 _37 0C).
2.      Pasien bebas dari demam.
Intervensi :
1.       Kaji saat timbulnya demam.
2.      Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 4 jam.
3.      Anjurkan pasien untuk banyak minum + 2.5 liter /24 jam.
4.      Berikan kompres hangat.
5.      Berikan terapi cairan intravena dan obat obatan sesuai program dokter.
b.      Ganggua pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makan sesuai dengan porsi yang diberikan/dibutuhkan.
Intervensi:
1.      Kaji keluhan mua, sakit menelan dan muntah yang dialami pasien.
2.      Kaji cara/bagaimana makanan yang dihidangkan.
3.      Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
4.      Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
5.      Catat jumlah porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
6.      Berikan obat-obatan antiemetic sesuai program dokter.
c.       Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permebelitas dinding plasma.

Tujuan:
Kebutuhan cairan terpenuhi
Intervensi:
1.      Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
2.      Observasi tanda-tanda syok.
3.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian cairan intervena.
4.      Anjurkan pasien untuk benyak minum.
5.      Catat intake dan ouput.
d.      Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan:
Pasien mampu mandiri setelah bebas demam. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi.
Intervena:
1.      Kaji keluhan pasien.
2.      Kaji hal-hal yang mampu atau tidak mampu dilakukan oleh pasien.
3.      Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnyan sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
4.      Letakan barang-barang ditempat yang terjangkau oleh pasien.
e.       Resiko terjadinya syok hipovelemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
Tujuan:
1.      Tanda-tanda tidak ada syok hipovelemik.
2.      Tanda-tanda vital dalam batas normal.
3.      Keadaan umum baik.

Intervensi:
1.      Monitor keadaan umum pasien.
2.      Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
3.      Monitor tanda pendarahan.
4.      Cek hemoglobin, hemotokrit, trombosit.
5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian tranfusi.
6.      Lapor ke dokter bila tampak syok hipovelemik.
f.        Resiko terjadinya pendarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
Tujuan:
Tidak terjadi tanda-tanda pendarahan lebih lanjut. Jumlah trombosit meningkat.
Intervensi:
1.      Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
2.      Anjurkan pasien untuk banyak istirahat.
3.      Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda pendarahan lebih lanjut.
4.      Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
g.       Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan pendarahan yang dialami pasien.
Tujuan:
Kecemasan berkurang.
Intervensi:
1.      Kaji rasa cema yang dialami pasien.
2.      Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
3.      Tunjukan rasa empati.
4.      Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaanya.
5.      Gunakan komunikasi terapeutik.


4.      Penatalaksanaan Keperawatan
            Tahap pelaksanaan merupakan langkah keempat melaksanakan berbagai startegi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004).
            Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya kemampuan dalam prosedur klien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan yaitu tindakan jenis mandiri dan kolaboratif. Sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dalam tanggung jawab dalam menentukan komponen pada tahap asuhan keperawatan.
Komponen pada tahap implementasi adalah:
a.       Tindakan keperawatan mandiri
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesan dokter. Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Associantion (1973) dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.
b.      Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif di implementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawat kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah klien.

5.      Evaluasi keperawatan
            Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan criteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawata pada tahap ini adalah memahami respom terhadap intervensi keperawatan. Kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan-tindakan keperawatan pada kriteria hasil.
Padatahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a.       Evaluasi formasi menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b.      Evaluasi sumatif merupakan rekaptulasi dari hasil obsevasi dan analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Disamping itu, evaluasi juga sebagian alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1.      Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan kemajuan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2.      Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tecapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dcari berbagai maslah atau penyebabnya, sepert klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual, setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3.      Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Evaluasi sumatif masing-masing diagnosa keperawatan secara teori adalah:
a.       Suhu tubuh normal (36-37 °C), pasien bebas dari demam.
b.      Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
c.       Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pasien terpenuhi.
d.      Aktivitas sehari-hari klien pasien dapat terpenuhi.
e.       Tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda-tanda vital dalam batas normal.
f.        Tidak terjadi pendarahan lebih lanjut.
g.       Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.